BERITA

Detail Berita

Anti Hoax Bawa Saya ke Jakarta

Jumat, 28 Agustus 2020 15:10 WIB
64 |   -

Cerita ini berawal saat saya membuka instagram dan muncul notif tag akun saya pada sebuah foto brosur Jambore Pelajar teladan bangsa 2017. Sebuah kegiatan yang sudah lama saya incar, 2 tahun sebelumnya rekan saya juga mengikuti event ini. Saya termotivasi untuk mengikuti jejaknya.

“Melawan Hoax, Meneguhkan Kebhinekaan “. Itulah tema esai yang merupakan persyaratan paling utama mengikuti event ini. 450 kata dan itu merupakan kali pertama aku membuat sebuah esai. Huft, sulit memang. Aku yang terbiasa hanya membaca tulisan dipaksa menulis untuk dibaca. Tapi tak ada yang mustahil. Materi siap, dan aku butuh waktu satu minggu untuk mengerjakan, belum lagi untuk revisinya.

Esai siap, persyaratan lain juga siap. Siang itu hari terakhir untuk mengumpulkan. Ya, Aku dan Bu Mira saat itu optimis meskipun hati kecil berkata pasrah. Hari demi hari berjalan normal. Aku tidak terlalu memikirkannya. Sampai pada siang itu tanggal 7 Juni 2017, email itu datang.

Penantian Berharga. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi saat email pengumuman kelolosan peserta itu datang. Agak panik memang, dari 500 pendaftar yang rata-rata sudah menjadi penulis, blogger, maupun youtubers hanya diambil 100 peserta atas penilaian esai yang terbaik. Syukur, aku terpilih menjadi bagian dari 100 peserta event ini. Kami bahagia, penantian diluar dugaan, aku lolos seleksi .

Waktu berjalan, keberangkatan menjadi peserta tidak semudah itu. Aku tidak punya biaya, bagaimanapun caranya aku harus meminta bantuan dari sekolah. Hal itu wajar, aku ke sana juga atas nama sekolah. Sulit memang, ya setelah ini itu akhirnya sekolah memberi bantuan. Meskipun kurang layak menurut saya, tapi ya bagaimana? Mau protes apa? sekarang ini mah lucu, mereka sering bicara, menuntut semaunya, namun tidak berkontribusi sebagaimana mestinya. Hehe, ini hanya secuil unek-unek saya jadi mohon dimaklumi.

Sabtu, 5 Agustus 2017. Setelah semua persiapan siap, aku berpamitan dengan kedua orang tua. Malam itu, 22.30 WIB aku memulai perjalanan jauh untuk pertama kalinya sendirian, tanpa satu orang pun yang kukenal sebelumnya. Perjalanan kurang lebih 620 Km memang membuat siapapun jenuh. Malam itu, dengan suhu di kereta yang hanya 20 derajat celcius,aku kedinginan tanpa memakai sarung tangan. Bertemu dengan orang orang baru tentu membuat siapapun harus memiliki kewaspadaan tingkat tinggi. Untuk ke toilet saja, aku harus membawa barang bawaan kecuali tas dan koper...hehe.

Minggu pagi, kereta kertajaya jurusan Surabaya Jakarta berhenti di jalur 3, ya aku ingat itu. Hawa udara berubah drastis. Panas, pengap menyelimuti udara stasiun ini. Untung aku bisa keluar dari stasiun tepat waktu dan langsung menyewa taksi online untuk menuju ke penginapan. ”Jakarta kota macet”, sapaan dari mereka perantau kota-kota jalur lengang.

Di hari pertama pembukaan, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang langsung membuka kegiatan ini. Dan apa yang disampaikan bapak menteri yang paling membekas yaitu “jika anak SMA tidak pernah merasakan cinta, maka dia telah kehilangan sebagian masa depannya”. Semuanya berdiri memberikan standing applause seraya tidak percaya. Bapak menteri yang disangka orang serius, malah bertingkah sebaliknya. Orangnya suka bercanda.

“Apapun itu, jangan pernah dipaksakan jika belum waktunya. Saya sendiri lulus kuliah tertinggal jauh dari teman-teman saya, tapi sekarang malah mereka yang mengikuti saya. Jadi jangan mudah meyerah.Ikuti kemana hati kecilmu akan pergi” (Muhadjir Effendi, Mendikbud)

Tadinya aku bisa nulis semuanya, tapi namanya aja majalah sekolah. Jadi harus bagi tempat buat penulis lainnya. Hehe..

Singkat cerita, secara perlahan aku mulai memahami sifat-sifat teman sekamar. Kami semua saling percaya, jadi meskipun ada uang 50.000 di meja kamar, kami tidak akan mengambilnya jika bukan hak kami. Hari demi hari kita jalani bersama. Jujur, kita terkenal di kalangan peserta maupun panitia. Bukan karena hal yang positif, tapi karena kami berempat selalu datang terlambat. Entah itu pada saat materi, jam makan, coffee break, maupun olahraga. Hehe, keren kan?

Di sana, saya tidak perlu lagi memahami materi toleransi. Bukan karena sok pintar, tetapi karena memang di sana toleransi bukan sekadar materi. Saya di sana mengenal banyak teman yang berbeda suku dan daerah. Ada yang dari Batak, Baduy, Makassar, Wakatobi, sampai Lombok. Cara berbicara mereka berbeda walaupun mereka memakai Bahasa Indonesia. Namanya juga berbeda, kita juga pernah salah paham satu dengan lainnya.

Sore itu, kita berkunjung ke salah satu panti asuhan. Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke pantai asuhan. Tuhan memang adil. Terkadang kita berdiri di atas untuk dapat melihat dan bersyukur, dan terpaku murah senyum dibawah untuk terus berusaha menggapai apa yang kita harapkan. Di  bawah atap – atap yang setengah kokoh itu, aku mendengar suara hati kecil seorang anak yang dititipkan keluarganya karena keterbatasan biaya hidup. Jika bicara tentang hati, tentu semua juga tersentuh. Aku sendiri yang mendengarkan mulut itu berkata, untuk merasakan manisnya sekotak martabak manis yang hanya 100 meter dari gerbang depan panti, mereka harus menunggu 2 bulan lamanya. Itupun tergantung dari dana yang tersedia dipanti. Sekali lagi, aku ucapkan rindu untuk pemilik mulut kecil murah senyum panti asuhan. Terima kasih ^^

Hari berlanjut. Pagi itu pukul 8 pagi semua peserta diharapkan sudah berada di bus. Seperti biasa, kami si tukang telat pukul 8 pagi baru menuju ke ruang makan. Terpaksa bus harus delai selama 30 menit. Jakarta macet, pagi cerah itu kami dibawa ke Taman Mini Indonesia Indah. Bukan untuk jalan-jalan, tapi kami mengunjungi sebuah klenteng Kong Hu Chu. Sekali lagi, belajar bahwa toleransi bukan hanya materi, namun toleransi adalah ciri khas negeri ini.

Hari selanjutnya, kami mengunjungi kawasan Kota Tua. Kami diajak berkeliling sambil belajar bersama seorang pemandu wisata. Sebelumnya malam itu, kami telah menyiapkan rencana yang tak terduga. Tepat sore itu kami semua memakai pakainan adat daerah masing-masing. Kami mencoba mengenalkan budaya kami ke pengunjung. Kebanyakan kami memilih orang asing karena menurut pandangan kami, ketertarikan orang asing lebih besar dari pada warga lokal tentang budaya kami. Sirine dibunyikan, pesta dimulai. Sore itu 100 pelajar dari seluruh Nusantara bersama dengan pengunjung Kota Tua menari bersama. Dalam paduan flash moob, kita bergembira.

Sekali lagi, 

            Keajaiban menemui pemungutnya

            Asa demi asa, keluh demi keluh

            Lupakan mulut yang hanya bicara

            Jangan membalas kata dengan kata

            Tunjukkan, bahwa kau bisa!

 

 

                                                                                                Zaki Alamsyah, 12 Agustus 2017


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini