Si Mufid
Oleh: Mujiati, S.Pd
Seorang anak berumur 10 tahun bernama Mufid, dia anak pengusaha sukses yang kaya raya. Ayah Si Mufid menyekolahkannya di SD Internasional paling bergengsi di Jakarta, tentu bisa ditebak biayanya sangat mahal, namun bagi seorang pengusaha tentu bukan masalah karena uangnya pasti berlimpah. Si ayah berfikir kalau anaknya harus mendapat bekal pendidikan terbaik disemua jenjang agar anaknya kelak menjadi orang sukses mengikuti jejaknya.
Suatu hari, istrinya kasih tahu jika hari Sabtu depan Si Ayah diundang menghadiri acara “Father Day” di sekolah Mufid. “Aduh saya sibuk Ma...kamu saja yang datang, “begitu ucap Si Ayah kepada istrinya. Bagi dia acara seperti ini sangat tidak penting dibanding urusan bisnis besarnya. Tapi kali ini istrinya marah dan mengancam, sebab sudah kesekian kalinya Si Ayah tidak pernah mau datang ke acara anaknya. Dia malu karena anaknya selalu di dampingi ibunya, sedang anak-anak yang lain di dampingi ayahnya.
Karena diancam istrinya, Si Ayah mau hadir meski agak ogah-ogahan. Father Day adalah acara yang di kemas khusus dimana anak-anak saling unjuk kemampuan di depan ayah mereka. Karena ayah Si Mufid ogah-ogahan maka dia memilih duduk di paling belakang, sementara para ayah yang lain, terutama yang muda-muda berebut duduk di depan agar bisa menyemangati anak-anaknya yang akan tampil di panggung.
Satu persatu anak-anak menampilkan bakat dan kebolehannya masing-masing, ada yang menyanyi, menari, membaca puisi, pantomima, ada pula yang memamerkan lukisan karya mereka dan masih banyak lagi. Semua mendapat tepuk tangan yang gegap gempita dari ayah-ayah mereka. Tibalah giliran Si Mufid dipanggil oleh gurunya untuk menampilkan kebolehannya. “Miss, bolehkah saya panggil Pak Arif?” tanya Si Mufid kepada gurunya. Pak Arif adalah guru mengaji untuk kegiatan ekstrakurikuler di sekolah itu. “Oh, boleh” begitu jawab gurunya.
Akhirnya Pak Arif pun naik ke panggung “Pak Arif, bolehkah bapak membuka kitab suci Alqur’an surat 78 (An-Naba’)”, begitu Mufid minta kepada guru ngajinya. “Tentu saja boleh nak” jawab Pak Arif. “Tolong Bapak perhatikan apakah bacaan saya ada yang salah!” pinta Mufid kembali. Lalu Si Mufid mulai melantunkan Q.S. An-Naba’ tanpa membaca Mushafnya (hafalan) dengan lantunan irama yang persis seperti seperti bacaan “Syekh Sudais”( Imam Besar Masjidil Haram).
Semua hadirin diam terpaku mendengarkan bacaan Si Mufid yang mendayu dayu, termasuk ayah Si Mufid yang duduk di belakang. “Stop kamu telah selesai membaca ayat 1 sampai dengan 5 dengan sempurna. Sekarang coba kamu baca ayat 9!” begitu kata Pak Arif yang tiba-tiba memotong bacaan Mufid. Lalu Mufid pun membaca ayat 9, “stop coba sekarang baca ayat 21, lalu ayat 33”, kata pak Arif. Setelah Mufid membaca, “sekarang kamu baca ayat 40 (ayat terakhir), Si Mufid pun membaca ayat ke 40 tersebut sampai selesai .
“SubhanaAllah....kamu hafal surat An-Naba, dengan sempurna nak” begitu teriak Pak Arif sambil mengucurkan air matanya. Para hadirin yang muslim pun tak kuasa menahan air matanya, lalu pak Arif bertanya kepada Mufid, “kenapa kamu memilih menghafal AlQur’an dan membacakannya di acara ini nak, sementara teman-tamanmu unjuk kebolehan yang lain?” begitu tanya Pak Arif penasaran. “Begini pak guru, waktu saya malas mengaji dalam mengikuti pelajaran bapak, bapak menegur saya sambil menyampaikan sabda Rosulullah SAW, “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah di dapatkan di dunia, keduanya bertanya, “mengapa kami dipakaikan jubah ini? Dijawab “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Alqur’an (HR.M.Hakim ).
“Pak guru, saya ingin mempersembahakan jubah kemuliaan kepada ibu dan ayah saya di hadapan Allah di akhirat kelak, sebagai seorang anak yang berbakti kepada keduanya,” kata Mufid. Semua orang terkeliap dan tidak semua bisa membendung air matanya, mendengar ucapan anak tersebut dari seseorang yang lari dari belakang menuju ke panggung, ternyata dia ayah si Mufid, yang dengar tergopoh-gopoh langsung menubruk sang anak, bersimpuh sambil memeluk kaki anaknya, ”Ampuuun nak, maafkan ayah yang selama ini tidak pernah memperhatikanmu, tidak pernah mendidikmu dengan agama, apalagi mengajarimu mengaji” ucap sang ayah sambil menangis di kaki anaknya.
“Ayah menginginkanmu agar kamu sukses di dunia nak, ternyata kamu malah memikirkan kemuliaan ayah di akhirat kelak, ayah malu nak” ujar sang ayah sambil nangis tersedu-sedu. Subhanallah semua orang yang mendengarkan tidak bisa menyembunyikan suara isak tangisnya, luar biasa terharu. Entah apa yang ada di benak orang-orang yang menangis itu, ada yang merasa berdosa karena menelantarkan anaknya, mungkin merasa bersalah karena lalai mengajarkan agama kepada anaknya, mungkin menyesal karena tidak mengajari anaknya mengaji atau merasa berdosa karena malas membaca Alqur’an yang hanya tergeletak di rak bukunya.
Semua dengan alasan sibuk urusan dunia, saya sendiri menangis karena merasa lalai dengan urusan akhirat, dan lebih sibuk dengan urusan dunia. Padahal saya tahu kalau kehidupan akhirat jauh lebih baik dan kekal dari pada kehidupan dunia yang remeh-temeh, senda gurau, dan tidaklah kehidupan dunia ini. Selain dari main-main dan sendau gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka kita harus memahaminya.
“Astagfirrullah.......Innallaha ghofururrohim” Hamba mohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini