OPINI

Detail Opini Siswa

CERPEN

Senin, 19 Mei 2025 21:36 WIB
53 |   -

Anak di Depan Mata

Ika Zuliana

SMA Negeri 1 Kalitidu, Bojonegoro

 

 

 

            Hari ini, aku berpulang ke negeri jaya yang konon sempat melegenda. Empat tahun sudah aku merantau ke negeri asing yang tak pernah memelukku sesekali dalam butiran hawa dingin yang menyesakkan.

            Benar kata pepatah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Hingga hari ini kubuktikan dengan ragaku. Aku tidak butuh sepeserpun uang yang kukeruk dari negeri sebelah. Di sinilah aku sekarang, menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar. Bukan tanpa alasan meninggalkan pekerjaan yang dulu menghasilkan kekayaan dini, lebih memilih mengabdi kepada negara yang selama ini sempat aku duakan.

            Sebelumnya perkenalkan namaku terlebih dahulu, aku Rahman Abdillah. Yang dulunya seorang dosen di Universitas Of Bonn, terlihat keren sekaligus mengesankan memang, hingga aku lupa tugas mencerdaskan umat bangsaku sendiri. Kali ini banyak kalangan yang mencibir mengatakan bodoh karena aku menyia-nyiakan pekerjaan sebelumnya, dan memilih bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar dengan gaji pas-pasan.

            “Apapun pilihan kamu, Ibu dukung Man.” Semangat Ibu kepadaku.

            “Pendidikan dasar menentukan masa depan bangsa Bu, dan Rahman ingin ikut andil dalam berperan menciptakan bibit unggul bangsa ini.”

            Aku melihat guratan sesungging di bibirnya, kulit keriputnya semakin terlihat tua bersamaan dengan gigi putihnya yang masih utuh. Matanya berbinar bagai cahaya rembulan. Dia Ibuku, wanita tercantik di dunia ku akui benar itu.

            Subuh-subuh sekali matahari masih belum bangun, tapi aku sudah beranjak dari tempat tidur. Kutunaikan kewajibanku terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Aku bercermin, mendapati diri yang telah rapi dengan seragam yang umum PNS kenakan. Aku cukup tampan ternyata. Seperti yang kalian duga, hari ini pertama kalinya aku mengajar menjadi seorang guru di sekolah dasar.

            “Anak-anak perkenalkan, beliau bernama pak Rahman, guru baru yang akan mengajar di kelas 3, bersikap yang sopan ya anak-anak.” Ucap Kepala sekolah sembari meninggalkanku sendirian di tengah kerumunan anak-anak yang menatapku dengan tatapan selidik, mungkin?

            Aku kesusahan menelan ludahku sendiri, keringatpun mulai menjadi dingin, bahkan tangan juga mulai berpeluh. Ini lebih menegangkan daripada bertemu mahasiswa bule yang tiap harinya kuajar.

            “Siapapun tolong aku!” jeritku dalam hati.

            “Pak Rahman jangan suka kasih PR ya.” Teriak salah satu dari mereka. Kecanggungannya sedikit berkurang, aku bersyukur.

            Aku mencoba tersenyum dan tenang.

            “Baik anak-anak, karena Bapak tadi sudah berkenalan sekarang giliran kalian ya”, ucapku mencairkan suasana.

            “Iya pak”. Jawab mereka serempak.

            Satu persatu wajah-wajah mereka nampak bergantian, detik demi detik kecanggunganku antara mereka seakan pudar. Tak ada dinding pembatas sepertinya. Terkadang mereka membuat lelucon yang cukup menggelitik dengan kepolosan mereka masing-masing.

            “Nama saya Danang pak, Danang Sugiharto.”

            “Nang nama belakangmu seperti nama penyanyi ya?”

            Aku mencoba melucu di antara selingan perkenalan mereka. Ya, dinding pembatasnya benar-benar telah hilang.

            “Penyanyi siapa pak?” tanyanya kembali dengan wajah bingung dan mata belong yang mengisyaratkan ia tengah berpikir keras.

            “Itu penyanyi dangdut perempuan yang ada di televisi, kamu tidak pernah nonton televisi ya?”

            Rautnya sedikit merunduk, dengan mata belong yang kian menciut. Apalagi senyuman di bibirnya yang mulai membentuk sedikit demi sedikit.

            “Maaf pak, saya gak punya televisi.”

            Kejadian siang tadi membuat mataku terbuka. Betapa menderitanya Danang dan keluarganya. Ya meskipun begitu, Danang masih berbangga diri dengan mengatakan bahwa ia adalah anak dari seorang pemulung jalanan. Hingga baru kusadari aku menyakiti hati Danang.

            Keesokannya, aku bangun lebih pagi. Membuat dua bekal makan siang. Hari ini pilar matahari begitu menyengat dengan aroma sang surya yang begitu lekat. Hari ini bumi masih menjadi saksi bisu, setelah 53 tahun di tanggal yang sama 1 Oktober. Pancasila telah membuktikan kesaktiannya dalam menyatukan negeri. Negeri yang kaya dan subur ini, negeri anugerah terindah sang Maha Kuasa.

            Detik-detik kebanggaan semakin nyata, tatkala sang Merah Putih telah dikibarkan di atas tiang bendera upacara sederhana kepunyaan SD Negeri Dolokgede. Aku melihat kibaran semangat yang turut berkobar dalam jiwa-jiwa besar yang tengah bersemayam di raga si mungil, tak lain Danang.

            Tepat setelah upacara berakhir Bu Mawar, guru yang mengajar murid kelas tiga itu menghampiriku.

            “Pak Rahman, sudah sarapan?”

            Dari gerak-geriknya, aku dapat menyimpulkan bahwa Bu Nur ini mulai menaruh hati denganku. Bukannya berharap lebih, namun guru lelaki yang paling gencar ia temui dan diajak mengobrol adalah aku. Biarlah, ini urusan Tuhan denganku.

            “Kok bawa bekal dua Pak? Satunya buat saya ya?” ucapnya dengan nada merayu saat dia menemukan kedua kotak bekal di meja.

            “Maaf, ini untuk Danang Bu.”

            Setelahnya, Bu Mawar langsung memasang kursi duduk di sebelah, seakan mengetahui jalan pikiranku, ia menceritakan semua yang ketahui tentang Danang.

            “Danang itu anaknya orang tidak mampu Pak. Sungguh kasihan memang Pak, tapi ya mau bagaimana lagi?”

            Aku sedikit tertegun.

            “Mau makan sehari-hari saja, mereka sudah sangat kesulitan Pak.”

            Aku semakin termenung, negeri yang kaya ini bahkan bisa membuat rakyatnya kelaparan.

            Entah apa yang akan Bu Nur ucapkan selanjutnya, namun aku harus segera pergi dan memberikan kotak bekal ini kepada Danang. Aku berjalan secepat mungkin ke kelasnya, dan benar saja Danang asyik menggambar. Di sampingnya tersedia botol bekas air minum, yang ia isi ulang dengan airnya sendiri dari rumah.

            “Nang, kamu mau makan siang berama saya?” Danang termenung seperkian detik, lalu mengangguk.

            Kami berakhir di belakang kelas dengan kotak bekal yang kubawa tadi pagi. Danang begitu lahap memakan nasi goreng spesial dengan telur ceplok di atasnya, buatanku subuh tadi.

            “Enak nang?” tanyaku mencoba kembali memecahkan dinding pembatas antara aku dan Danang.

            “Enak sekali, Pak Rahman pintar masaknya.” Pujinya kepadaku tanpa sadar beberapa butir nasi telah bercampur dengan  wajahnya.

            “Oh ya nang, katanya kamu pandai menggambar ya?” Aku mencoba berbasa-basi sambil menghabiskan isi dari kotak bekal ini.

            “Ya sedikit-sedikit bisa Pak.”

            Ditunjukkannya beberapa gambar kepadaku, dan ini luar biasa bagus. Hanya karena ia anak orang yang tak mampu dan sekolah di daerah terpencil, bakat menggambarnya tak dilirik sama sekali. Ironisnya hidup ini.

            “Kamu mau ikut lomba gak Nang?”

            Hari-hari kini, aku dan Danang isi dengan latihan menggambar. Aku terus memantaunya untuk kesiapan lomba bulan depan. Aku sudah terlanjur mendaftarkan Danang. Meskipun tidak terlalu ahli dalam bidang ini tapi setidaknya memiliki beberapa pengetahuan yang bisa kuajarkan padanya.

            “Nang, kalau mau buat arsiran dari lengkung terdekat harus gelap kemudian baru diterangkan sedikit-sedikit.”

            Aku tak pernah menyangka Danang sangatlah berbakat, hanya beberapa arahan dan instruksi, nyatanya ia sudah mahir menggambar.     

            Hari ini akan menjadi hari bersejarah bagiku dan Danang, setelah kesiapan kami sebulan sebelumnya. Tiba-tiba Danang muncul dengan seseorang yang berpakaian lusuh dan kotor.

            “Permisi Pak Rahman, ini bapak saya, Pak Mamang.”

            Anehnya lelaki itu membawa helaian merah putih di punggungnya, seakan mau perang. Namun aku acuh.

            “Selamat pagi Pak Mamang, silakan naik.” Kusilakan Bapak itu untuk masuk mobil yang sudah disewa. Kami membutuhkan setidaknya satu jam untuk sampai di tempat lomba. Selama perjalanan ternyata satu fakta mengejutkan, jika Bapaknya Danang memiliki kekurangan yakni tuna wicara. Bahkan tak satupun malu terbesit dalam dirinya.

            Suasana menegangkan sedari tadi mengerumuni sesaat tiba di sini hingga detik kesekian ini. Aku dan Pak Mamang menyemangatinya dari kejauhan, namun Danang masih menangkapnya dan tersenyum simpul.

            Akhirnya lomba selesai dan tinggal menunggu pengumuman. Namun aku masih terheran dengan bendera pusaka yang sedari tadi menyelimuti punggung Bapaknya Danang.

            “Nang, Bapakmu kenapa membawa bendera?”

            “Bapak selalu megingatkan kalau cinta tanah air itu sebagian dari iman Pak. Padahal sebenarnya Bapak cuma mau menutupi bajunya yang robek itu dengan bendera.”

            Sedikit tercengang, namun itu sangat mengharukan untukku. Aku tidak merasakan pengalaman ini selama hidup di Jerman, tidak pernah sekalipun.

            Hingga akhirnya, Danang keluar sebagai juara satu. Seketika itu, aku melihat Pak Mamang sujud syukur. Benar saja, tampaklah bagian sobek pada bajunya ketika ia menyelimutkan Danang dengan sang bendera Merah Putih dengan tangis haru yang menyelimuti.

            “Pak, aku tidak hanya ingin membuat bangga Bapakku tapi aku juga ingin membuat bangga negeri tempat kelahiranku.” Ucapnya mantap kepadaku.

            “Kamu harus terus semangat menggambarnya ya Nang.” Ucapku tak kalah mantap padanya.

            Kejadian itu terulang lagi delapan tahun kemudian, di mana aku menemukan Danang terpampang jelas pada koran dengan judul “Indonesia Sabet Gelar Juara di Lomba Desain Internasional”.

            Danang hanyalah satu di antara segelintir anak bangsa yang ada di negeri ini. Semangat dan tekadnya yang kuat, juga kecintaannya kepada tanah air membuatnya giat mengejar prestasi.

            Aku menemukan sebuah kalimat yang sempat danang ucapkan tertulis pada baris koran itu, “terimakasih untuk Pak Rahman, guru saya di sekolah dasar. Jikalau tidak ada Beliau, saya tidak akan mungkin bisa sampai sejauh ini.”

            Bibirku menggulum senyum kembali, untaian kalimat itu paling bersinar di koran. Membuat aku menahan air mata beberapa saat.

Kesuksesan yang sebenarnya adalah seberapa manfaat yang kita hasilkan untuk orang lain, dan kesuksesanku adalah melihat Danang yang seperti sekarang ini. Aku hanya ingin anak-anak lainnya, juga bisa menjadi seperti Danang. Ia menghormati guru, menyanyangi Bapaknya, dan juga mencintai tanah airnya.

                                                                                   

Kalitidu, 17 Agustus 2018


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini