OPINI

Detail Opini Siswa

Sampah Menumpuk, Kondisi Lingkungan Semakin Terpuruk

Senin, 19 Mei 2025 12:33 WIB
4773 |   -

Esai ini mendapatkan juara 2 tingkat nasional di UHAMKA

Indonesia adalah rumah kita. Ibu kota Negara Indonesia adalah wilayah yang dituntut menjadi teladan bagi daerah-daerah lain yang tertinggal di Indonesia. Jakarta merupakan tempat lembaga pemerintah pusat dijalankan untuk mengatur kesejahteraan kehidupan masyarakat di seluruh Indonesia. DKI Jakarta memiliki berbagai macam keunggulan yang lebih tinggi dalam bidang teknologi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Kemajuan tersebut didukung oleh adanya bangunan-bangunan pencakar langit dan kehidupan masyarakatnya yang kian hari kian nampak elit. Hal tersebut menjadikan penduduk pedesaan memiliki pola pikir, mereka menganggap DKI Jakarta adalah kawasan yang sempurna, karena pemerintah dan masyarakatnya saling melengkapi dan sinergis dalam membangun daerahnya.

Tak khayal sebagian penduduk pedesaan berbondong-bondong melakukan transmigrasi untuk singgah bahkan  menetap di ibu kota dengan tujuan mengubah nasib menjadi lebih terhormat dan sejahtera. Namun tidak semua keinginan masyarakat tercapai, kebanyakan dari mereka akhirnya menjadi pengamen, gelandangan, dan pengemis akibat kalah bersaing, karena rata-rata mereka hanyalah lulusan sekolah menengah bahkan sekolah dasar. Hal ini pun menjadi penyebab melonjaknya jumlah penduduk ibu kota dari tahun ke tahun, pernyataan ini di dukung oleh data pemerintah pada tahun 2010 presentasi penduduk di kota besar mencapai 49,8 % dan meningkat menjadi 53’3 % di tahun 2015.

Timbulnya  masalah dalam berbagai bidang, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, hingga masalah lainnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah prostitusi, pencabulan, kemiskinan, kekerasan, gizi buruk, bencana alam, banjir, tanah longsor, bahkan penumpukan sampah. Apalagi Jakarta menjadi langganan banjir setiap tahunnya.

Pada hari Minggu, 18 Maret 2018 ini, DKI Jakarta kembali dihebohkan dengan fenomena tumpukan ton sampah yang terdampar dan membentuk daratan di bibir pantai teluk Jakarta, Muara Angke di Jakarta Utara. Berbagai macam sampah yang dominan adalah sampah plastik ini telah menumpuk setebal satu meter dan menjadi daratan di teluk Jakarta (di kampung Blok Empang, Muara Angke). Peristiwa ini diduga akibat fenomena alam yakni Baratan (Angin Barat) yang menjadi pemicu datangnya ombak besar yang membawa material sampah untuk merapat ke pesisir pantai dan akhirnya menumpuk di sana. Baratan (Angin Barat) diperkirakan terjadi sejak Desember 2017 dan mulai menumpuk sampah pada awal Februari 2018. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan Risnandar, Ketua Komunitas Mangrove Muara Angke.

Akibat dari fenomena sampah ini adalah pertama, terhambatnya proses penanaman mangrove pada lahan seluas 1,5 hektar. Bibit-bibit pohon mangrove dikelilingi oleh tumpukan sampah plastik yang bercampur dengan lumpur.  Menurut warga sekitar Kampung Blok Empang, Muara Angke penanaman mangrove akan tetap dilakukan walaupun dalam keadaan sampah masih menumpuk di daratan pesisir pantai. Pernyataan tersebut juga didukung oleh kepala suku dinas lingkungan hidup kepulauan seribu, Yusen Hardiman. Namun apabila penanaman mangrove akan tetap dilakukan kemungkinan presentase hidupnya mangrove secara normal akan terganggu karena sampah plastik yang menutupi akar mangrove dapat menyebabkan kematian pohon mangrove secara perlahan serta hilangnya kesuburan tanah akibat pengurai tanah yang mati.

Kedua, Rusaknya terumbu karang dan terganggunya ekosistem laut. Adanya sampah plastik akan menyebabkan pasukan oksigen di dalam air berkurang dan dapat mengakibatkan ikan-ikan di laut mati. Ketiga, kandungan logam berat seperti Pb, Hg dan Cd pada air dapat membuat air tersebut tidak layak minum di karenakan sangat berbahaya bagi tubuh manusia.

Keempat, Adanya kasus kerang hijau dari teluk Jakarta dilarang dikonsumsi dikarenakan mengandung merkuri yang dapat menyebabkan kanker dan kelumpuhan apabila di konsumsi. Kelima, menyebabkan para nelayan kesulitan mengambil keuntungan dari mata pencahariaannya, mengingat jumlah sampah yang mencapai puluhan ton di perairan teluk Jakarta.

Pada hari pertama pengangkutan sampah teluk Jakarta tepatnya Sabtu, 17 Maret 2018 ada sekitar 19, 3 ton sampah yang diangkut menuju TPA Bentar Gebang, Bekasi. Pembersihan teluk Jakarta ini di lakukan oleh personil gabungan PPSU, SUDINLH dan Tata Air Jakarta di kerahkan.

Penyebab fenomena sampah teluk Jakarta ini bukan hanya karena aktivitas alam, tetapi masyarakat sekitar Jakarta juga ikut andil besar dalam peristiwa ini. Kesadaran masyarakat Ibu kota akan kebersihan dan lingkungan masih terbilang dangkal. Kebiasaan membuaang sampah sembarangan terutama di tepi sungai masih dilakukan oleh mereka. Pernyataan ini diperkuat dengan sampah-sampah plastik yang menumpuk di teluk Jakarta di dominasi oleh sampah domestik rumah tangga, selain itu teluk Jakarta, Muara Angke merupakan tempat muara bagi 13 sungai di daerah Jakarta. Jadi sampah teluk Jakarta berasal dari penduduk-penduduk kota Jakarta.

Pemerintah Kota Jakarta telah membuat Perda Nomor 3 tahun 2013 tentang pengelolaan sampah, dengan denda maksimal 500 ribu rupiah. Namun peraturan ini masih dianggap remeh oleh sebagian masyarakat Ibu kota. Berbagai solusi ditawarkan guna semakin menekan jumlah sampah di Jakarta. Tindakan nyata yang dapat dilakukan diantaranya:

  1. Perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat akan kepedulian dan kebersihan lingkungan.
  2. Masyarakat harus ikut mendukung pemerintah untuk melaksanakan kebijakan Perda No. 3 tahun 2013 tersebut agar tidak ada lagi fenomena sampah.
  3. Kerja sama masyarakat dan pemerintah harus lebih di tingkatkan. Karena satu pihak saja tidak dapat menyelesaikan masalah tanpa adanya pihak lain.

Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini