Toleransi dan Empati Sosial Dalam Keberagaman
Posisi silang Indonesia yang berada pada dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia, secara langsung maupun tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya yang ada di Indonesia. Indonesia adalah negara majemuk yang erat dengan keberagaman, baik dalam segi etnik, budaya, agama, ras, maupun suku. Keberagaman ini menjadi landasan dalam berkehidupan dan berkebangsaan, hingga membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Semua keberagaman budaya pada prinsipnya sama oleh karena itu, harus diperlakukan dalam konteks duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Bhinneka Tunggal Ika merupaka semboyan bangsa kita yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman dan itu jelas tertera pada pita yang dicengkeram oleh burung garuda yang bertuliskan “Berbeda-beda tetap satu jua”. Meskipun kita terdiri atas berbagai suku,agama,ras, dan antar gologan yang beragam, namun itu tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu Bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai indentitas bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan negara pancasila. Disini kita dituntut untuk selalu mengedepankan toleransi antar sesama.
Kesatuan konsep kemanusiaan merupakan unsur asasi dalam setiap agama, setelah konsep ketuhanan. Hal itu tak ayal jika fenomena sektarianisme keagamaan ini berimbas pada Indonesia. Apalagi dengan realita yang terjadi di Timur Tengah, tentu saja akan merembet dengan cepat mempengaruhi kondisi Indonesia yang kita ketahui sangat dekat hubungannya. Mengingat Timur Tengah merupakan sumber peradapan islam, teryata lebih senang menggulati konflik dirumah sendiri daripada menengok ekspasi budaya yang digencarkan peradapan barat.
Beberapa konflik, pada tingkat global, konflik Sunni & Syiah yang eskalasi awalnya di Timur Tengah telah menyusup masuk ke Indonesia. Dimana sekitar 200-300 WNI ikut berjihad ke Suriah dan bergabung dengan kelompok militan ISIS. Sementara,ditingkat lokal, terlihat pada dibiarkannya nasib jama’ah Ahmadiyah diberbagai tempat di Indonesia. Dimana, banyak dari mereka diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, padahal jama’ah Ahmadiyah itu memiliki KTP Indonesia yang seharusnya memiliki hak sama seperti WNI lainnya. Pengaruh sektarianisme di Indonesia juga terlihat diberbagai aksi penolakan yang disertai argumen keagamaan dan kekerasan. Sektarianisme ini jelas-jelas membuat ekslusi sosial yang mengancam kehidupan banyak orang, terutama kelompok minoritas.
Indonesia telah menjadi rujukan bagi negara semacam Afganistan untuk model negara muslim yang berhsil melalui transisi demokrasi tanpa goyah dengan konflik yang cukup deras menghantam kemajemukan dan pluralitas kepercayaan. Apabila Indonesia serius dan tetap konsisten untuk menjadi negara penginisiasi perdamaian, maka bukan hal mustahil jika Indonesia kelak menjadi referensi alteratif dari model negara islam ideal.
Penulis
Ayu Nur Khasanah (XII IPA 1)
Bojonegoro, 6 Maret 1999
“Membuang waktu untuk melakukan hal yang tak bermanfaat dapat menghancurkan hari esokmu”
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini